Kekuatan sanad hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar
tentang ziarah kubur kedua orang tua atau salah satu dari mereka pada setiap
hari Jum‘at, kemudian hadits tentang membaca surat Yasin akan diampuni dia
sebanyak jumlah ayat dan huruf?
Jawaban:
Setelah melalui pelacakan dari berbagai kitab hadits,
akhirnya bisa ditemukan di dalam kitab Faidl al-Qadir Syarah Kitab al-Jami‘
ash-Shaghir karya Abd ar-Rauf al-Manawi, Juz VI: 141. Teks selengkapnya
adalah:
لِأَبِي الشَّيْخِ
وَالدَّيْلَمِي عَنْ أَبِي بَكْرٍ مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ كُلُّ جُمُعَةٍ
أَوْ أَحَدِهِمَا فَقَرَأَ عِنْدَهُ يسٍ وَالْقُرْآنِ الْحَكِيْمِ غُفِرَ لَهُ
بِعَدَدِ كُلِّ أَيَةٍ وَحُرْفٍ مِنْهَا.
Artinya: “Riwayat Abu asy-Syaikh dan ad-Dailamiy dari
Abu Bakar: Barangsiapa berziarah kubur kedua orang tuanya atau salah satunya
pada setiap hari Jum‘at, kemudian membaca surat “Yasin wa al-Qur’an al-Hakim”,
maka diampunilah dia sebanyak jumlah ayat dan huruf dari surat itu.”
Menurut kitab Mizan al-I‘tidal fi Naqd ar-Rijal, karya
Syams ad-Din Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahabi, Juz V:
316, dinyatakan bahwa sanad hadits tersebut bathil, dengan demikian
tidak bisa dijadikan hujjah.
Sedangkan hadits kedua tentang pembacaan permulaan surat
al-Baqarah di sebelah kepala mayit, dan akhir surat al-Baqarah di sebelah
kakinya, dengan sangat menyesal belum bisa ditemukan rujukannya, meskipun sudah
dilacak di berbagai kitab hadits. Kami kesulitan menemukan kata kunci untuk
mencari hadits tersebut, karena dalam pertanyaan anda hanya menyertakan
terjemahannya.
B. Pertanyaan:
Kalau hadits tersebut tidak shahih dan tidak pula
hasan, bagaimana jika menggunakan qiyas terhadap pengiriman bacaan untuk
orang yang telah meninggal dengan hadits ‘Aisyah yaitu pemberian sedekah anak
kepada ibunya yang telah meninggal?
Jawaban:
Masalah yang anda tanyakan adalah masalah klasik, sejak
dulu menjadi khilafiyah. Namun bagaimana pandangan Islam terhadap
masalah tersebut, dan pendapat mana yang lebih patut diterima jika dihadapkan
keada dalil-dalil hukumnya?
Al-Qur’an surat an-Najm (53) ayat 38 dan 39 mengajarkan:
أَلاَّ تَزِرُ
وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى. وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى.
Artinya: “Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain
apa yang telah diusahakannya.”
Dari dua ayat di atas, diperoleh penegasan bahwa seseorang
yang berdosa adalah akibat perbuatan yang dilakukannya sendiri. Dan bahwa
manusia hanya akan memperoleh pahala atas perbuatan yang dilakukannya sendiri
pula. Kemungkinan seseorang ikut dibebani dosa perbuatan orang lain hanyalah
jika seseorang itu berpartisipasi dalam terjadinya perbuatan dosa orang lain
itu. Demikian juga orang dapat menerima pahala perbuatan yang dilakukan orang
lain, jika ia berpartisipasi dalam terjadinya perbuatan orang lain itu. Hadits
Nabi saw mengajarkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ دَعَا إِلَى
هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ
ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ
مِنْ اْلإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ
شَيْئًا. [رواه مسلم: ج: 4 ص: 2060].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya
Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa mengajak kepada petunjuk (kebaikan), maka
ia akan mendapat pahala seperti pahala-pahala yang diberikan kepada orang-orang
yang mengikuti ajakannya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka; dan orang
yang mengajak kepada kesesatan, maka ia akan menerima dosa seperti dosa
orang-orang yang mengikuti ajakannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka.”
[HR. Muslim, Juz IV: 2060].
Hadits Nabi saw yang lain:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ
اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ.
[رواه مسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya
Rasulullah saw bersabda: Jika manusia telah meninggal, maka terputuslah
(pahala) amalnya, kecuali tiga macam amal; shadaqah jariyah, ilmu yang
bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan baik untuknya.” [HR. Muslim].
Tiga macam amal yang masih mengalir terus pahalanya,
sampaipun yang beramal telah meninggal dunia, seperti disebutkan dalam hadits
tersebut, hakikatnya adalah amal yang dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan,
bukan amal yang dilakukan oleh orang lain.
Hadits tentang anak yang menyedekahkan harta atas nama
ibunya:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ
رَجُلاً قَالَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي
افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَإِنَّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ
عَنْهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ
فَتَصَدَّقَ عَنْهَا. [رواه النسائى].
Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah, bahwasanya seorang
shahabat datang kepada Rasulullah saw dan bertanya: Sesungguhnya ibuku telah
meninggal dengan tiba-tiba, sekiranya ia sempat berbicara niscaya ia akan
menyedekahkan sebagian hartanya. Dapatkah aku bersedekah atas nama ibuku
(ibunya juga akan memperoleh pahala)?. Rasulullah saw menjawab ‘dapat’, maka ia
bersedekah atas nama ibunya” [HR. an-Nasa’i].
Dari dalil-dalil di atas dapat diambil pelajaran bahwa
kedudukan anak terhadap orang tua itu dapat dihubungkan dengan amal orang tua
ketika hidup telah mendidik anaknya, sehingga anak dapat merasakan wajib
berbuat baik kepada orang tuanya sampaipun setelah mereka meninggal dunia. Jadi
orang tua yang mempunyai anak demikian itu hakikatnya memetik amalnya sendiri
ketika masih hidup, yaitu mendidik anak untuk menjadi anak yang shaleh. Maka
amal anak atas nama orang tua tidak termasuk pembicaraan menghadiahkan pahala
amal shaleh.
Seseorang yang mendoakan baik untuk orang lain, baik yang
masih hidup maupun yang telah meninggal dunia, tidak ada masalah sama sekali.
Seperti shalat jenazah berisi doa yang dimohonkan kepada Allah bagi orang yang
meninggal dunia itu. Atau doa yang sering kita baca, misalnya:
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ
لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ
اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ.
Oleh karena itu mendoakan orang lain bukan masalah menghadiahkan
pahala amal bagi orang lain.
Memperhatikan bahwa tidak ada ajaran khusus tentang
menghadiahkan pahala amal kepada orang lain, baik dari al-Qur’an maupun darti
al-Hadits, para shahabat Nabi pun tidak melakukannya. Maka yang paling selamat
adalah berpegang saja kepada nash yang ada. Tentang qiyas yang
anda tanyakan, dalam kasus ini tidak bisa diberlakukan karena bertentangan
dengan nash yang lebih tegas. Qiyas dalam bidang ibadah seperti
ini, hanya qiyas yang dilakukan oleh Nabi saw yang bisa diterima.
Adapun menganut pendapat dapat sampainya hadiah pahala amal
kebajikan kepada orang lain, sering berakibat negatif. Orang yang kurang
beramal shaleh menjagakan hadiah pahala dari orang lain.
C. Pertanyaan:
Pada buku Tanya Jawab Agama Juz IV halaman 87, hadits
riwayat ad-Daruquthni dari Ibnu Abbas belum selesai.
Jawaban:
Setelah kami cek di dalam kitab Sunan ad-Daruquthni
Juz I: 304, memang benar ada kekurangan, yaitu kalimat: hatta qubidla.
Maka teks selengkapnya berbunyi:
إِنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَزَلْ يَجْهَرُ فِي السُّوْرَتَيْنِ
بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ حَتَّى قُبِضَ. [رواه الدارقطنى عن ابن
عباس].
Artinya: “Bahwasanya Nabi saw tetap membaca
‘bismillahirrahmanirrahim’ dengan nyaring di (permulaan) dua surat (pada waktu
membaca al-Fatihah dan pada waktu membaca surat lain sesudah al-Fatihah) sampai
beliau wafat.” [HR. ad-Daruquthni dari Ibnu Abbas].
D. Pertanyaan:
Di dalam buku HPT halaman 160, memang benar seharusnya
tertulis 46 – 60 ekor unta, bukan 49 - 60 ekor unta. Pada halaman 155
tertulis 76 – 90 ekor unta dikenakan zakat 2 ekor anak unta betina umur 3
tahun. Sedangkan pada halaman 160, tertulis 76 – 90 ekor unta, dikenakan zakat
2 ekor anak unta betina umur 2 tahun. Mana yang benar?
Jawaban:
Yang benar adalah 76 – 90 ekor unta, dikenakan zakat 2 ekor
anak unta betina umur 2 tahun lebih (2 tahun menginjak tahun ketiga).
D. Tim Fatwa mengucapkan terima kasih atas
koreksian anda terhadap beberapa kesalahan cetak yang terdapat di dalam buku
“Tanya Jawab Agama”. Misalnya anda menyebutkan buku jilid III halaman 67,
tertulis surat an-Nahl ayat 96 seharusnya ayat 98, jika yang dimaksud adalah
membaca “ta‘awudz” maka pada buku jilid III edisi 1995 halaman 80, sudah
seperti yang dimaksud. Buku jilid III halaman 143 tertulis ayat 10 surat
al-Isra’ ternyata teksnya tidak seperti yang dimaksud. Pada buku edisi 1995,
terdapat pada halaman 166 masih tertulis al-Isra’ ayat 10. Yang benar adalah
surat al-Isra’ ayat 110, teksnya berbunyi:
وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ
وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً.
Buku
jilid III halaman 145 menjelaskan surat al-Baqarah ayat 187, tetapi kemasukan
ayat 10 surat al-Isra’. Dalam buku jilid III edisi 1995, halaman 168 tentang
junub, jima’ dan lain-lain, jika ini yang dimaksud, maka ayat 10 surat al-Isra’
sudah tidak ada lagi.